Penolakan Vaksin COVID-19 – Indonesia, negara terpadat keempat di dunia, memulai program vaksinasi COVID-19 pada pertengahan Januari.
Namun, banyak pihak yang menolak untuk mengikuti program ini, sehingga menambah panjang daftar tantangan program vaksin pemerintah yang diperkirakan akan selesai dalam 10 tahun ke depan.
Penolakan terhadap vaksinasi COVID-19 sebenarnya menunjukkan bahwa fenomena antivaksin masih kuat di Indonesia dan juga di dunia pada umumnya. Faktor latar belakang biasanya berbeda dari satu negara ke negara lain karena terkait dengan kondisi sosial budaya setempat seperti agama.
Agama menjadi salah satu alasan penolakan vaksin di Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Salah satu alasan penolakan vaksin di Indonesia adalah kekhawatiran akan kehalalan kandungan vaksin.
Namun, masalah struktural juga memunculkan gerakan anti-vaksin ini. Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap tata kelola global dalam pengembangan dan pendistribusian vaksin turut menyebabkan penolakan terhadap vaksin, termasuk vaksin COVID-19.
Masalah struktural Penolakan Vaksin COVID-19
Pengendalian pengembangan dan distribusi vaksin dalam skala global merupakan hasil kolaborasi antara sektor publik dan swasta, seperti yang ditunjukkan dalam GAVI (The Vaccice Alliance).
GAVI merupakan kerjasama antara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), UNICEF, Bank Dunia dan Yayasan Bill & Melinda Gates.
GAVI telah berkontribusi pada pengembangan dan penyebaran vaksin, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, sejak tahun 2000.
Namun, model kemitraan GAVI menuai banyak kritik karena menempatkan aktor non-pemerintah seperti yayasan keluarga dan perusahaan sejajar dengan negara dan bahkan organisasi internasional. Posisi ini dapat memberikan peluang bagi kepentingan bisnis untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan kesehatan masyarakat.
Dalam konteks pandemi COVID-19 saat ini, misalnya, tidak dapat dipungkiri bahwa GAVI berperan penting dalam pengembangan dan diseminasi vaksin global. GAVI bekerja sama dengan WHO dan CEPI (Coalition for Epidemic Preparedness Innovation) untuk menciptakan COVAX, yang bertujuan untuk mendistribusikan vaksin secara lebih merata ke seluruh dunia.
Namun, COVAX juga terlihat lebih berpihak pada kepentingan industri ketika meminta negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk membantu mendanai pengembangan vaksin daripada meminta perusahaan vaksin menurunkan harga.
Penolakan Vaksin COVID-19 yang Kuat
Di Indonesia, sebuah video yang menunjukkan penolakan keras anggota DPR Ribka Tjiptaning terhadap vaksinasi COVID-19 menjadi viral beberapa saat kemudian. Presiden Joko “Jokowi” Widodo mendapatkan vaksin pertamanya. Dia melihat pendistribusian vaksin COVID-19 sebagai bentuk bisnis baru yang hanya akan menguntungkan perusahaan.
Berita polituik Indonesia memalui penelitian menunjukkan bahwa kurangnya kepercayaan pada industri farmasi merupakan faktor utama yang mendorong munculnya keengganan vaksinasi dan gerakan anti-vaksin secara umum.
Skeptisisme vaksin mengacu pada lamanya waktu seseorang, biasanya orang tua, menerima atau menolak untuk divaksinasi. Sedangkan gerakan antivaksin mengacu pada kampanye aktif oleh berbagai kalangan terhadap penggunaan atau gagasan vaksin itu sendiri.
Kurangnya kepercayaan pada industri farmasi itu sendiri disebabkan oleh reputasi negatif industri farmasi yang sudah berlangsung lama). Perusahaan farmasi dituduh terlibat dalam banyak kasus, seperti penyuapan tenaga kesehatan dan kurangnya transparansi dalam uji klinis dengan vaksin.
Oleh karena itu, kehadiran pelaku industri di dewan GAVI berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap pengendalian distribusi vaksin global.
Keterlibatan Gates Foundation adalah contoh lain bagaimana kehadiran sektor swasta telah memicu skeptisisme vaksin dan gerakan anti-vaksin.
Gates Foundation bukanlah perusahaan farmasi, tetapi yayasan swasta. Namun, Gates Foundation memiliki kursi tetap di Dewan Direksi GAVI. Kontribusi material dan finansial yang besar dari Gates Foundation telah menjadikan Bill Gates sebagai pemilik yayasan menjadi pemain utama dalam program imunisasi global, termasuk pandemi COVID-19.
Tak heran, kehadiran Bill Gates memicu teori konspirasi yang selama ini digunakan oleh kelompok antivaksin, termasuk di Indonesia, untuk menolak vaksin.
Mereka mengajukan teori konspirasi bahwa program vaksinasi COVID-19 tidak lebih dari upaya Bill Gates untuk menanamkan microchip ke semua orang di dunia.
Lalu apa selanjutnya?
Setidaknya ada dua hal yang bisa ditarik dari kebangkitan gerakan antivaksin di masa pandemi COVID-19 ini.
Pertama, semua pihak di bidang kesehatan perlu bekerja sama untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya melibatkan pihak swasta dalam pengembangan dan distribusi vaksin di seluruh dunia. Keterlibatan sektor swasta penting karena WHO memiliki kendala materi dan keuangan untuk menjalankan peran ini sendiri.
Kedua, pentingnya penguatan kelembagaan dan keuangan organisasi internasional seperti WHO agar dapat mempertahankan peran utamanya dalam mengatur dinamika pengembangan dan manajemen distribusi vaksin.
Demikian ulasan berita polituik Indonesia mengenai Mengatasi Masalah Struktural Penolakan Vaksin COVID-19 Secara Global yang dapat saya sampaikan, semoga informasi ini dapat bermanfaat untuk Anda. /Aha
Baca Juga: Simak Berita Maluku Sektor Ekonomi di Musim Pandemi